Kamis, 10 April 2014

Kebudayaan Tanah Toraja




Tana Toraja : Menyelami Budaya Khas Austronesia

            Tana Toraja terletak di provinsi Sulawesi Selatan.Masyarakat tana toraja mendiami daerah pegunungan, mereka memiliki kebudayaan yang khas dan unik.Kebudayaan yang kebanyakan terlihat adalah kebudayaan Austronesia asli. Tana Toraja sering disebut dengan negerinya orang mati yang hidup karena di dalam Tana Toraja terdapat banyak kebudayaan leluhur yang masih terus dilakukan sampai sekarang seperti upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.
Tana Toraja juga mempunyai rumah adat yang disebut dengan rumah adat tongkonan.Yaitu rumah adat yang dianggap central dari kegiatan-kegiatan upacara adat.Menurut mitos yang  diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).
Nama Toraja pertama kali diberikan oleh suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai"Riaja" (orang yang mendiami daerah pegunungan).Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang mendiami daerah barat).Ada juga yang menyebutkan bahwa Toraja dari kata 'Toraya' (Tau: orang, dan raya  atau maraya: besar), gabungan dua kata ini memberi arti "orang-orang hebat" atau "manusia mulia". Berikutnya istilah yang lebih sering dipakai adalah sebutan Toraja, kata "tana" sendiri berarti daerah. Penduduk  dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.
Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya.Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktekkan.
                Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian.Hal ini karena ritual-ritual tersebut berterkaitan dengan musim tanam dan panen.Masyarakat Toraja sendiri mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi batangnya.Di sepanjang jalan masyarakat Toraja menjemur padi dimana batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau dibagian sampingnya.
Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara  atas rumah adat yang baru direnovasi.
Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.
Upacara pemakaman Rambu Solok adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Persiapannya pun selama berbulan-bulan.Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan.Puncak upacara Rambu Solok biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara.


Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.



Bagi kalangan dari bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu diantaranya bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan lalu kerbau pun langsung terkapar bermandikan darah beberapa saat kemudian.
Ma’tinggoro Tedong

Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil dimana anak-anak yang sudah menikah meninggalkan orangtua mereka dan memulai hidup baru ditempat lain. Meski anak mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya tetapi mereka semua merupakan satu keluarga besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan).Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja.Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja.Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.
Tongkonan Pallawa, berada sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepau. Tongkonan adalah sebuah rumah besar dengan atap berbentuk pelana menyerupai tanduk kerbau yang mengarah ke depan. Bentuk rumah ini berbeda dengan rumah Minangkabau di Sumatera Barat yang memiliki atap berbentuk pelana dan ujungnya yang memanjang.Atap Tongkonan terbuat dari daun kelapa sedangkan sisi rumah dihiasi ukiran. Pada bagian depan biasanya terdapat sejumlah tanduk kerbau. Ada nuansa unik rumahTongkonan yang luar biasa sekaligus bersahaja, perhatikan tumbuhan hijau yang ada di atas atapnya justru memperindah tampilan rumah khas ini. Tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang bukan karena alasan perbaikan, tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan yang berkuasa di daerah tersebut. Pembangunan kembali rumah tongkonantentu saja akan disertai dengan upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman. Saat itu para kerabat membawa babi dan kerbau yang merupakan salah satu persyaratan dalam membangun sebuah menara. Tongkonan mirip dengan yang digunakan untuk pemakaman, bedanya adalah adanya pilar bambu yang mengarah ke langit, sedangkan untuk pemakaman pilarnya ditanam di tanah.
Ke’te Kesu, terletak sekitar 4 km dari tenggara Rantepau. Sebuah tempat yang begitu memesona berupa rumah leluhur atau tongkonan, lumbung padi, dan bangunan megalith di sekitarnya.Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya. 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan dalam bangunan batu yang diberi pagar. Hal ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari.Tulang-belulang tampak mendominasi pemandangan juga puntung rokok tampak berjejal-jejal di sekitar tulang belulang tersebut.
Pekuburan Batu Lemo, tempat ini dianggap masyarakat Tana Toraja sebagai rumah para arwah. Di sini terdapat mayat yang disimpan di tengah bebatuan yang curam. Ada puluhan makam unik yang berjejer di dinding batu  dilengkapi patung berupa manusia lengkap dengan diberi pakaian layaknya manusia yang masih hidup. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene.
                        Upacara MaNene

Pekuburan Gua Londa, berada sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepau. Merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja.Anda dapat melihatnya di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dan peti-peti mayat tersebut diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainnya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau.
Alat musik tradisional Toraja, adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan dalam tarianMa'bondensan.Alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari bertelanjang dada dan berkuku jari panjang.Alat musik lainnya yang digunakan adalah Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan saat panen dan upacara pembukaan rumah.
Tarian Toraja, biasanya saat upacara penguburan. Tarian ini untuk menunjukkan rasa duka cita sekaligus menghormati dan menyemangati arwah.Sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (Ma'badong). Kemudian di hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Anda akan melihat beberapa pria menari dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai hiasan ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman.Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan orang pada kemurahan hati dan kesetiaan yang meninggal.Setelah penyembelihan kerbau dan babi, ada tarian dimana sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.Ada juga tarian Ma'bugi yang dilakukan untuk merayakan Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi yang ditampilkan saat menumbuk beras.Tarian Manimbongdilakukan pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh wanita.Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali yaitu saat pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci
.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar